Jejak Langkah Sang Calon Gembala

“Kaum muda adalah nafas gereja dan negara, jangan pernah ada kata pesimis, tarulah kata optimis biar nafas sungguh dihidupkan,” pesan Christo yang merupakan Calon Imam Projo Keuskupan Waetabula, Nusa Tenggara Timur.
Perawakannya yang tinggi, berkacamata dan sederhana, namun mempunyai senyuman khas berkharisma, dengan tutur kata yang santun dan kaya makna, membuat sosok pria hitam manis ini selalu melekat diingatan ketika berjumpa dengannya. Fr. Christo, begitulah putra kelahiran Sandalwood Island yakni tanah Marapu, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur ini sehari-hari disapa.
Terlahir dari pasangan Nobertus Ngasi dan Patricia de Ornay, Chirsto Ngasi begitu nama lengkapnya, menghabiskan masa kecil seperti anak kebanyakan yang selalu mengisi harinya dengan bermain dan bercanda dengan teman sepermainan. “Masa kecil saya bahagia karena orang tua mengajarkan saya tiga hal yakni, kejujuran, kerja keras dan tanggung jawab. Iman katolik menjadi dasar dan saya bersyukur karena dapat bersekolah di sekolah katolik sekalipun biaya nya mahal,” demikian Chirsto mengutarakan ingatannya.
Masa remaja pria kelahiran 13 Maret 1987 ini terbilang cukup nakal, tidak tanggung-tanggung kakak kelas nya sewaktu SMA pernah dipukul hingga bibirnya berdarah. Namun karena keras nya orang tua, terlebih sang ayah yang selalu menghukum dengan keras setiap kali berbuat salah, yang membuatnya bisa berubah.
“Berawal dari kekaguman melihat Imam memakai jubah saat kecil dulu, itulah saat dimana saya mulai jatuh cinta kepada panggilan ini, “ tutur Cristo sembari mengulas seuntai senyum. Walupun belum terpanggil secara utuh, kecintaanya mulai dinyatakan dengan menjadi misdinar atau ajudah di gereja. Barulah setelah menapaki masa putih abu dirinya merasa terpanggil seutuhnya, terlebih setelah di bimbing oleh Biarawan BHK.
Tidak mudah memang bagi Chirsto untuk menjawab panggilan istimewa ini. Pergolakan dan pergumulan yang hebat sempat dia rasakan ketika harus mengambil keputusan menjawab “ya” atau “tidak” untuk menjadi kekasih sejati Allah. “pergolakan pertama adalah mengalahkan rasa takut dalam diri saya. Rasa takut sebagai pribadi yang rapuh, apakah sanggup menjalani panggilan ini dan yang kedua memutuskan hubungan dengan pacar yang sudah berlangsung selama empat tahun, ini adalah hal terberat dan jujur bahwa semua itu bisa saya lupakan ketika masuk seminari. Hati ku sudah menjadi milik Bunda Maria seutuhnya dan itu tidak bisa di bagi kepada siapa pun,” urai Christo.
Keputusannya untuk menjadi Imam ternyata didukung sepenuhnya oleh seluruh keluarga. Doa keluarga diakui Christo sebagai kekuatan baginya untuk terus bertahan menjalani hari-hari yang sulit dan berat di Seminari Tinggi Santo Mikhael Kupang. Saat pertama kali menapakkan kaki di seminari terasa begitu menyedihkan bagi nya karena harus melepaskan semua kebebasan saat SMA. “Rasanya ingin lari dari kurungan dan ketatnya formasi, namun ini adalah pilihan saya dan saat ini saya sudah merasa nyaman. Inilah rumah saya sekarang,” ungkap Christo seraya meneguk secangkir kopi di depannya.
Menjadi seorang Imam butuh waktu yang tidak sedikit, tuntutan akademik sebagai calon Imam adalah salah satu tantangan yang cukup sulit serta afeksi seks terhadap perempuan diakui Christo juga menjadi tantangan berarti. Tidak hanya itu, kehidupan seminari yang monoton menjadi cobaan tersendiri bagi setiap pribadi yang bergelut didalamnya. “Rasa jenuh pasti ada ketika padat nya kegiatan akademik dan kerohanian, namun saya bersyukur karena semua rasa jenuh itu dapat diatasi dengan berbagai kegiatan olahraga, musik dan teater,” terang mantan wakil ketua senat mahasiswa 2010 Universitas Katolik Widya Mandira Kupang ini.
Menjadi Imam berarti harus siap menderita bersama Kristus. “Bagi saya turut menderita bersama Kristus adalah ikut ambil bagian dalam tugas dan pelayanan baik itu susah dan senang, karena kelak saya juga akan menjadi in persona christy yakni mengambil rupa Kristus,” jelas Christo yang masih menyisakan empat tahun lagi untuk di tabiskan menjadi Diakon. Sulung dari empat bersaudara ini pun menguraikan cita-citanya untuk menjadi pelayan Allah yang setia dan penuh cinta kasih. Menurut mantan ketua Komunikasi Filsafat 2011 ini, untuk mencari Imamat adalah sesuatu yang mudah tetapi untuk mempertahakannya adalah hal sangat sulit.
Saat ini Christo tengah menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Waimarama Keuskupan Waitabula, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Selama masa pelayanannya, Christo bertugas melayani umat, memimpin ibadat syukur dan kematian. Selain itu, calon gembala ini turut menangani orang muda katolik, memberikan pembinaan kepada guru agama dan mengasuh rubrik majalah Gong Sumba serta melayani komuni orang sakit. Ada juga kisah nya ketika harus berhadapan dengan para pencuri di Waimarama. “Daerah ini merupakan sarang perampok dan saya harus bergaul dengan para pencuri ini untuk menyadarkan dan membuat mereka bertobat,” katanya.
Sederhana, ketika Christo mendefenisikan pribadinya sebagai kekasih Allah, yakni setia. Setia akan panggilan, cita-cita luhur dan karya kerasulan. “ Kesetiaan adalah kunci kepribadian ku dalam menjalani hidup sebagai hamba Allah, sebagai inspirasi hidup ku, seperti yang dikatakan Injil Yohanes dalam 15:14a, yaitu kamu adalah sahabat Ku,” pungkas Christo sambil tersenyum simpul. “Filosofi saya bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, saya ingin mengejar kesempurnaan itu dan kesempatan ibarat kado yang tak boleh dilewatkan,” ujar Christo menutup pembicaraan.

Jejak Langkah Sang Calon Gembala

Image